KOMUNIKASI DAN ILMU SOSIAL PROFETIK: SEBUAH JALAN TENGAH

    Komunikasi profetik berbicara mengenai bagaimana berkomunikasi melalui pendekatan kenabian. Profetik diambil dari kata dalam bahasa inggris yaitu prophetic atau prophet yang bermakna nabi. Jadi komunikasi profetik menjadikan pola komunikasi Nabi Muhammad SAW sebagai sumber ilmu dan rujukan. Komunikasi profetik lahir dari adanya UU ITE dan media baru. Kajian ini menjadi jawaban atas bauran-bauran yang bias antara budaya pemikiran barat dan agama sejak lama. Berkembangnya kebiasaan menyebar berita palsu (hoax), ujaran kebencian (hate speech), polarisasi masyarakat, pornografi, dan kejahatan digital adalah sebagian contoh fenomena negatif yang dapat ditemukan dalam penggunaan media sosial dan internet di era digital.

Menurut Prof. Kuntowijoyo, terdapat tiga pilar utama komunikasi profetik yaitu 1). Humanisasi, bagaimana kita memanusiakan manusia dan ber-amar ma’ruf, 2). Liberasi, mengenai upaya pembebasan dari belenggu kebodohan dan keburukan (nahi munkar), dan yang terakhir 3). Transendensi, mengembalikan semuanya pada ajaran agama. Transendensi mengikat tindakan humanisasi dan liberasi dalam satu tujuan atau satu tujuan yang jelas, yakni Iman kepada Allah SWT. Melalui Komunikasi Profetik ini diharapkan kita sebagai yang mempelajarinya senantiasa mencontoh sifat dan sikap kenabian dalam berkomunikasi sehari-hari. 

Berbicara mengenai kajian Ilmu Sosial Profetik tentu tak jauh dari seseorang bernama Prof. Kuntowijoyo, seorang guru besar ilmu budaya Universitas Gadjah Mada. Beliau adalah seorang cendekiawan bangsa. Banyak pemikiran yang beliau tuangkan dalam karya tulisnya dan bisa diakses oleh siapa saja. Ilmu Sosial Profetik berangkat dari keresahan Prof. Kuntowijoyo mengenai apa yang menjadi dasar ilmu pengetahuan dan bagaimana bisa teologi dapat berdampak pada perkembangan ilmu pengetahuan. Ada dua perspektif yang berbeda tentang ilmu pengetahuan. Menurut Plato, ilmu didapat dari rasio akal. Sedangkan Aristoteles berpendapat bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari pengalaman. 

Perbedaan pendapat ini tidak menemui titik terang. Hingga muncullah konstruktivisme. Konstruktivisme beranggapan bahwa orang menciptakan ilmu pengetahuan agar dapat berpikir secara pragmatis di dunia. Namun, hal tersebut tidak bisa memfinalkan darimana Ilmu Pengetahuan itu berakar. Lantas Prof. Kuntowijoyo hadir dengan perspektifnya sendiri. Wahyu dapat dijadikan sumber dari ilmu pengetahuan. Pandangannya ini menengahi aliran empirisme dan rasionalisme. Menurut Prof. Kuntowijoyo, Al-Qur’an mengandung berbagai macam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dengan konsep wahyu ini yang akhirnya kita kenal sebagai Ilmu Sosial Profetik. 

Mengambil kata Profetik, Prof. Kuntowijoyo mengacu pada peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami oleh Rasulullah SAW. Puncak kenikmatan sebagai seorang manusia adalah bertemu tuhannya. Tetapi Rasulullah tidak egois. Beliau memilih untuk kembali turun ke bumi demi membimbing umatnya yaitu umat manusia dengan berbagai macam persoalan yang rumit. Ilmu Sosial Profetik juga mengutip ayat suci Al-Qur’an sebagai landasan gagasannya. Q.S Ali Imran ayat 110 yang artinya:

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.

Ayat tersebut menegaskan dan membuktikan bahwa wahyu Allah dapat dijadikan sumber ilmu pengetahuan. Kuntowijoyo menginginkan wahyu dapat dijadikan sumber ilmu pengetahuan yang transformatif, diskursif, serta dinamis. 



Ditulis oleh:
Nadya Kusuma A.
18107030094
Untuk Mata Kuliah Komunikasi Profetik

Komentar

Postingan Populer