TERTIPU!
Hello!
Nama saya Nadya Kusuma. Sering dipanggil Nadya atau sekadar memanggil ‘Nad’. Perihal
usia, tahun ini saya memasuki tahun ke-20 diberi nikmati kehidupan oleh Allah
SWT. Di usia yang sudah kepala dua tentu banyak sekali pengalaman yang bila
diingat membuat saya berpikir, “Kok bisa
ya saya kayak gitu?”. Terutama dalam hal membeli sesuatu. Ketika saya
mencoba flashback ke masa lalu, saya
justru bingung sendiri. Saya bukan tipikal orang yang mengikuti tren.
Sebagai
contoh kecil, ketika saya duduk di bangku sekolah dasar dahulu, teman-teman
saya dihebohkan dengan hadirnya gelang ‘ajaib’ bernama Power Balance. Gelang itu diklaim dapat memberikan keseimbangan
dalam tubuh dan dapat menambah energi. Teman-teman ramai membicarakan itu.
Bahkan ada beberapa yang menjadi pioneer
dengan membeli gelang itu untuk dipamerkan. Saya sih hanya sebatas kepo
saja. Meminjam punya teman, saya coba pakai dan kebetulan gelang itu terlihat
jelek di tangan saya. Setelahnya saya kembalikan gelang itu dan tidak lagi
tertarik untuk memilikinya. Selain faktor jelek tadi saya juga berpikir dua
kali apabila merengek kepada mama saya untuk dibelikan gelang. Pada saat itu,
gelang power balance dibanderol
dengan harga yang lumayan fantastis untuk ukuran gelang ‘biasa’.
Source: pinterest |
Itu
hanya segelintir pengalaman mengenai saya yang tidak begitu mengikuti tren atau
tertipu iklan produk barang. Tetapi setelah saya putar ulang mesin waktu saya,
saya menyadari satu hal. Saya memang tidak mudah tergiur untuk membeli
barang-barang lucu atau termakan iklan. Tetapi saya sangat-amat-mudah tergiur
oleh makanan. Entah sudah berapa kali saya secara impulsif membeli makanan
padahal saya dalam keadaan kenyang. Tentu sudah tak bisa dihitung dengan jari
berapa kali saya tertipu dengan iklan makanan yang visualisasi dalam iklan
dengan realitanya sangat berbeda.
Pada
saat itu saya sedang scrolling
timeline instagram saya. Ada sebuah postingan tentang minuman kekinian—thai tea yang baru saja buka. Foto yang
ditampilkan begitu eye-catching dan
terlihat sangat menggiurkan. Lantas saya kirimkan unggahan itu ke beberapa
karib saya. Mengajak untuk mencoba minuman itu bersama, niatnya. Namun pada
akhirnya saya membeli sendiri karena kebetulan ada outletnya di dekat rumah
saya. Sebut saja brand ini dengan
nama ‘FML’. Antrenya lumayan pada saat itu, mengingat minuman yang dimaksud
merupakan produk baru. Orang yang antre memang hanya tiga orang, tetapi
masing-masing dari mereka memesan lebih dari satu menu. Tibalah giliran saya. Saya
memesan varian green thai tea. Saya memang
penggemar segala produk berbahan dasar teh hijau. Setelah pesanan saya jadi,
saya sedikit mencoba rasa thai tea itu. Well,
saya tidak merasa ekspektasi saya terpenuh. Saya masih mencoba berpikir
positif. Mungkin karena saya masih di jalan sehingga kurang fokus mencicipi
rasanya. Maka saya bergegas pulang ke rumah dan kembali mencicipi thai tea FML itu.
Rasanya tak berubah. Airnya seperti kebanyakan karena rasa manis yang harusnya,
ada mengingat tadi mas-mas penjual memasukkan susu kental manis dengan sedikit bar-bar, hampir tidak terasa. Rasa teh
hijaunya pun tidak begitu terasa. Mungkin karena esnya yang sudah dihancurkan
menjadi seperti krikil sehingga sudah cair duluan. Jadi dapat saya simpulkan
bahwa minuman yang saya cicipi ini zonk!
Hambar rasanya. Walau begitu masih tetap saya habiskan karena belinya pakai
duit jajan saya.
Semenjak
itu saya sempat kapok membeli minuman thai tea dengan merk tersebut. Beberapa kali
melihat teman-teman membeli FML karena memang franchisenya ada di mana-mana. Sampai pada akhirnya tiba-tiba
(seperti biasa, perilaku impulsif) saya kepingin membeli sesuatu yang
menyegarkan. Lantas saya kepikiran FML. Kebetulan di dekat kampus ada yang
menjualnya. Karena cuaca panas dan saya sedang ingin yang segar-segar, saya
akhirnya mampir membeli FML di tempat itu. Seperti biasa, antrenya banyak. Entah
kenapa saat itu saya rela antre padahal matahari begitu terik. Saya memesan thai green tea lagi. Ketika pesanan saya
sudah jadi, terdapat perbedaan dari FML yang saya beli di outlet pertama. Di outlet
ini kemasannya lebih fancy dengan
tutup yang lebih proper. Esnya pun
merupakan jenis es yang biasa dipakai di restoran dan cafe—berbentuk tabung dengan
lubang di tengah. Menurut saya es dengan bentuk seperti itu lebih lama
mencairnya dibanding dengan es yang sudah berbentuk kerikil kecil-kecil. Ketika
saya cicipi sedikit sebelum naik motor, rasanya lebih enak. Manis dari susu
kental manisnya pas dan teh hijaunya juga lebih terasa. Ketika saya sampai di
rumah, walau esnya sudah sedikit melebur dengan air thai tea, rasanya tidak
berubah banyak. Masih tetap terasa manis dan rasa tehnya. Setelah itu saya
mengambil kesimpulan bahwa berbeda outlet, berbeda pula rasa yang dihasilkan.
Pernah
juga saya termakan oleh gambar nasi goreng di aplikasi gofood. Nasi goreng yang dijual saat itu adalah nasi goreng
kambing. Di gambarnya terlihat menggiurkan. Warna nasi yang coklat pekat
membuat saya berpikir bahwa nasi goreng itu pasti kaya akan rempah-rempah. Ditambah
dengan potongan daging kambing yang terlihat dan telur mata sapi di tengahnya. Saya
lantas memesan satu nasi goreng melalui aplikasi itu. Setelah menunggu sekitar
30 menit akhirnya nasi goreng itu sampai di tangan saya. Lagi-lagi saya tertipu
oleh visualisasi. Nasi goreng yang saya dapat justru jauh berbeda dengan yang
ada di aplikasi. Warnanya tak sepekat di gambar, daging kambingnya juga pelit! Hanya
berupa potongan berbentuk dadu dengan ukuran kecil. Nasinya pun dingin. Entah karena
sudah terlalu lama di jalan atau bagaimana. Walau begitu tetap saya makan
karena harganya pun tak begitu mahal. Memang ya, ada harga ada barang.
Peristiwa
yang belum lama ini saya alami dengan keluarga. Saat itu memang tidak ada lauk.
Adik saya berinisiatif untuk memesan makanan melalui gofood. Saat itu adik saya
menemukan restoran ayam geprek. Ketika dibuka menunya, gambar yang ditampilkan
begitu menggiurkan. Terutama pada varian ayam geprek mozzarela. Who can resist mozza cheese, anyway? Apalagi
harga ayam geprek mozzarela itu hanya berkisar Rp13.000,-. Harga yang sangat
murah untuk menu dengan keju yang tidak murah itu. Lantas dipesanlah ayam itu.
Setelah menunggu beberapa saat, ayam pesanan kami akhirnya datang.
Lagi-lagi
tertipu visual! Ayam geprek yang datang jauh dari ekspektasi. Di aplikasi tidak
dicantumkan ayam bagian apa yang dijual dan yang datang adala aya bagian sayap
dengan ukuran super mini! Tepungnya pun pucat, tidak golden brown seperti gambar. Lantas bagaimana dengan si keju
mozzarela? Jangan ditanya, saya bahkan ragu kalau itu keju mozzarela betulan. Ayamnya
dingin pula. Semua serba zonk. Lalapan yang diberikanpun hanya potongan
mentimun kecil berjumlah dua biji. Satu-satunya yang masih bisa ngademin hati saya adalah cabenya yang
benar-benar pedas. Itu saja.
Adik
saya memesan ayam geprek saus keju. Sama zonk-nya. Saus keju yang ada pada
gambar adalah saus keju yang ditempatkan di wadah tersendiri dan terlihat seperti
saus keju premium. Dan yang sampai di tangan adik saya adalah ayam geprek pucat
super pedas dan dengan saus keju yang seperti tidak niat disajikan. Bagaimana tidak,
saus kejunya hanya seperti saus keju botolan dan langsung diletakkan di atas
ayam geprek. Diletakkan sembarangan seperti meletakkan saus tomat atau saus
sambal pada ayam goreng kaefsi. Saus kejunya pun dingin. Sepanjang saya membeli
makanan dengan saus keju sebagai condiment
tambahan, saus keju yang masih dalam kemasan selalu diolah kembali atau paling
tidak ditempatkan di tempat berbeda. Entah pengetahuan saya yang terbatas atau
memang makanan itu disajikan dengan tidak niat. Entahlah. Saya bisa membedakan
mana makanan yang disajikan dengan niat walau tampilannya sederhana dengan
makanan yang memang benar-benar serampangan dalam hal penyajian.
Walau
begitu, lagi-lagi makanan zonk itu tetap saya habiskan dengan perasaan kesal
karena tertipu. Semenjak itu saya jadi lebih hati-hati dalam memesan makanan
melalui aplikasi. Karena saya tidak bisa melihat secara langsung bentuk makanan
yang dijual. Selain itu kadang gambar yang ditampilkan di aplikasi bukanlah real pict. Atau mungkin saja real picture tetapi di penyajian aslinya
ada beberapa unsur yang dihilangkan.
Kasus
serupa juga pernah saya alami dengan pacar saya. Kami melihat sebuah iklan
restoran yang baru saja buka. Dari feeds
instagram, makanan yang disajikan terlihat menarik dan tempting sekali. Setelah jam kuliah selesai kami memutuskan untuk
makan di sana. Sesampainya di sana, kami sempat bertanya-tanya mengapa
parkirannya sepi. Hanya ada beberapa mobil di sana. Saya kira mungkin promosi
yang dilakukan si pemilik belum begitu kencang. Kami berdua lantas masuk dan
memesan makanan. Kesan pertama yang buruk, kami diharuskan menunggu sekitar
satu jam untuk dua item menu saja. Es teh kami sampai sudah mencair duluan. Tempatnya
pun tidak begitu nyaman. Udara panas dan lalat berterbangan. Lantai yang
terlihat kumuh.
Setelah
satu jam menunggu, pesanan kami tiba. Tidak sesuai ekspektasi. Rasanya benar-benar
jauh dari bayangan kami saat melihat iklannya di instagram. Saya memesan nasi
goreng seharga Rp25.000,-. Tak ada yang spesial. Rasanya tak jauh berbeda
dengan nasi goreng buatan mas-mas langganan saya. Begitu pula dengan nasi ayam
yang dipesan pacar saya. Ayamnya kecil, tepungnya saja yang tebal. Ketika saya
mencicipi sausnya, rasanya sedikit masam dan tidak begitu enak. Setelah kami
selesai makan lalu kami menuju ke kasir untuk membayar. Total harga pesanan
kami sekitar Rp60.000,-. Harga yang tak sebanding dan terlalu mahal untuk
sajian dan vibes tempat yang
ditawarkan.
Menyesal?
Jelas! Pacar saya sampai kesal kalau saya iseng mengungkit pengalaman itu. Saya
juga jadi semakin hati-hati dalam hal memilih makanan. Sekarang saya sedang
mencoba untuk menahan diri untuk tidak mudah tergiur oleh iklan makanan yang
saya temui. Bertanya dan mencari informasi terlebih dahulu sepertinya akan
sedikit menyelamatkan saya dari perasaan kagol
karena merasa ditipu.
Ditulis oleh:
Nadya Kusuma A.
Ilmu Komunikasi
18107030094
Kajian Sosial Iklan
Komentar
Posting Komentar